Akomodasi Keharmonisan dalam Pengabdian di Tana Toraja

 


Oleh : M. Rozien Abqoriy*


TORAJA - 9 hari sudah berada diruang yang cukup baru. Ruang dimana kita dapat dipertemukan dengan banyaknya keberagaman, pengalaman, hingga varian terbaru dari seorang teman. Perbedaan yang tidak hanya sebatas ucapan, namun juga akomodasi yang mencakup dalam sebuah keharmonisan.


Ya kita, terutama aku yang sedang berada dalam ruang pengabdian. Melaksanakan kewajiban pendidikan yang didalamnya bukan hanya sebatas pembuktian, tapi juga kemurnian dari sesuatu yang tidak tersekat hanya sebagai semunya perjanjian. 


Hari ke 9 sudah berjalan dengan begitu sempurna. Dari awal penjemputan dari kantor bupati kabupaten Tana Toraja, tepatnya di provinsi Sulawesi Selatan. Tidak hanya jauh dari permukaan halaman rumah, tapi juga cukup berbeda dari kebiasaan-kebiasaannya ataupun aroma-aroma budayanya. 


Semakin kesini, aku semakin jatuh cinta dengan lingkungan, alam dan seluruh penghuni-penghuninya. Melihat bagaimana ia dapat menjalin yang tidak hanya sekedar kalimat. Melihat bagaimana ia dapat bergurau melalui keberagaman intonasi yang tidak hanya sebatas senyum manisnya, tapi juga kebermaknaannya yang ia berikan.


Dari awal melalui banyaknya pertanyaan, lalu kemudian ia sebut dengan sebuah perkenalan, mengajakku untuk berharap jauh lebih dalam untuk sebuah pemahaman. 


Aku hanya ingin bercerita, bahwa konsep hidup adalah sebuah perjalanan yang sudah dapat kita langsung terapkan dari hari pertama melakukan perjalanan. Perjalanan disini maksudnya kita langsung jalan ke berbagai pusat di desa Buntu Tabang (mereka sebut sebagai Lembang). Melalui setiap jalur ketukan sandal yang bermerek swallow dan cukup setia untuk menghangatkan perjalanan, hhe. Dari perjalanan untuk mencari masjid yang lumayan tidak dapat dengan mudah kita sentuh suaranya saja, rasanya kalimat capek diawal masih belum terdengar. Apa mungkin karena semangatnya yang begitu menggebu-gebu ya? Hhe. Nggaklah, masih bersyukur aja karena semangatnya masih terawat rapi sampai di hari ini, tenang saja. 


Dalam setiap kesempatannya dapat bertemu dengan warga setempat, meski hanya untuk menikmati kopi khas daerah dan cerita-ceritanya yang juga cukup nikmat, mereka sebut "kopi Toraja". Menyusuri Lembang dengan beberapa masyarakat didalamnya, keberagaman yang sebelumnya hanya kutemukan dalam tulisan saja, kini sudah dapat kunikmati secara nyata. 


Oh iya, sebelumnya ingin kuceritakan bahwa di Kabupaten Tana Toraja ini memiliki sejuta kekayaan budaya dan adat istiadat didalamnya. 


Di daerah ini merupakan daerah yang terdiri dari mayoritas masyarakat beragama kristen, sebagian lagi adalah Islam, dan selebihnya yang diyakini juga sebagai penganut animisme atau keyakinan leluhur. 


Adatnya yang mendunia hingga saat ini salah satunya adalah upacara kematian yang disebut dengan "Rambu Solo". Ya, melalui adatnya yang menggunakan ratusan penyembelihan kerbau dan babi untuk mereka yang tergolong kaum bangsawan, untuk merayakan dan menyatakan bahwa kematian itu tidak hanya terbatas kepada sesuatu yang menyedihkan. Tetapi sesuatu yang perlu untuk disyukuri karena akan dapat segera bertemu dengan dewa ataupun Tuhan Yesus "yang mereka yakini dalam agamanya". 


Tidak heran, ketika mereka mempersiapkan sebuah perayaan itu dan tidak mempermasalahkan banyaknya ratusan bahkan milyaran rupiah yang mereka keluarkan. 


Selebihnya, aku menyadari bahwa dalam hal ini tidak hanya sebatas tentang pencarian, pengabdian ataupun pendapatan. Tapi lebih kepada bagaimana menerapkan arti sesungguhnya dari yang tetap melestarikan kekayaan yang sudah ada dari sejak lama, selebihnya dapat memahami lebih dalam tentang banyaknya keanekaragaman. 


Tentang sebuah pengabdian, sebuah perjalanan yang aku fikir akan senantiasa berjalan sampai akhir kehidupan. Sebuah pengabdian yang tidak hanya perihal pendapatan, keluar masuk dapur ataupun kamar mandi, bahkan bukan hanya tentang merajut sebuah kekeluargaan dengan makan, nyuci dan tidur bareng. Namun juga dapat membuat keterhubungan antara kebersamaan, kelestarian dan keberlanjutan yang lebih baik dan berjangka panjang. 

Aku mencoba memahami, dari catatannya Joko Pinurbo dengan kalimatnya yang mengatakan "Ketika aku berdoa, Tuhan tak pernah menanyakan agamaku". 


Dalam perjalanan menyusuri keyakinannya masing-masing, seakan sedikit dapat terlintas, bahwa semua yang baik selalu melalui sandaran yang cukup baik dan tak akan ada pertanyaan yang tercekik. 

Mantan presiden Indonesia Abdurrahan Wajib juga menyatakan bahwa "kalau kamu mampu berbuat baik, orang lain tidak akan tanya apa agamamu". 


Dalam catatan kali ini, aku hanya ingin belajar lagi bahwa pengabdian bukan hanya tentang sebuah penyatuan diatas permasalahan, tapi pembekalan untuk sebuah keberlangsungan dan keberlanjutan.



#Penulis merupakan mahasiswa IAIN Madura program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyoal Kader yang Dijinakkan oleh Romantisme Politik

Manusia dan Segala Kecanggihannya

RAK direncanakan, Proker hanya Sekedar Arsip, Pengurus Kerja atau tidur?