Matinya Daya Kritis Kader HMI
(Foto:Istimewa)
Oleh : M. Rozien Abqoriy*
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pernah menjadi garda terdepan dalam berbagai pergerakan sosial-politik di Indonesia. Dalam catatan hingga sejarahnya, organisasi ini dikenal dengan idealisme dan daya kritisnya yang tajam terhadap kebijakan pemerintah serta ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Tunduk dan patuh terhadap kebenaran.
Namun, seiring berjalannya waktu, banyak kalangan yang merasa bahwa daya kritis HMI kini mulai memudar, bahkan terkadang tergantikan oleh sikap yang lebih pragmatis atau cenderung mengikuti arus kekuasaan.
Analisis saya sejauh ini, penyebab utama dari "matinya" daya kritis HMI bisa dilihat dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Secara internal, ada pergeseran nilai dan orientasi dalam tubuh HMI itu sendiri. Di masa lalu, HMI banyak diwarnai oleh aktivis yang sangat vokal, yang tidak ragu untuk mengkritik kebijakan pemerintah maupun keadaan sosial-politik yang dianggap tidak adil. Namun, kini banyak anggotanya yang lebih memilih jalan yang lebih aman dan terkooptasi dalam jaringan politik yang ada.
Dalam banyak kasus, orientasi kekuasaan dan keuntungan politik menguburkan nilai-nilai dasar yang pernah diperjuangkan HMI, yakni keadilan dan kebenaran.
Secara eksternal, situasi politik hari ini semakin terpolarisasi dan terfragmentasi, hal itu turut memengaruhi dinamika organisasi seperti HMI. Ketika organisasi-organisasi mahasiswa dan masyarakat cenderung lebih terbagi dalam kelompok-kelompok ideologi tertentu, daya kritis yang dulu menjadi pilar utama HMI terkikis oleh kepentingan jangka pendek yang lebih terkait dengan kekuasaan.
Ini sebuah dilema, di mana HMI cenderung terjebak dalam arus yang lebih memilih keberlanjutan kebodohan, bahkan kekuasaan daripada memperjuangkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Perbedaanya antara yang berorganisasi dan yang tidak berorganisasi hari ini juga terlampau sama, atau barangkali yang tidak berorganisasi lebih memiliki kompetensi.
Sementara itu, di tengah kondisi tersebut, ada juga elemen-elemen dalam tubuh HMI yang masih berusaha menjaga semangat kritis. Namun, tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengembalikan keberanian dan konsistensi dalam mengkritik kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak pro-kebaikam bersama, tanpa terjebak dalam kepentingan politik atau kehilangan jati diri.
Dalam menghadapi permasalahan ini, perlu ada refleksi besar-besaran serta mendalam di kalangan kader HMI untuk kembali pada cita-cita dan tujuan awal organisasi, yakni untuk menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Daya kritis HMI harus kembali digerakkan, tidak hanya sebagai alat untuk mengkritik kekuasaan, tetapi juga untuk mendorong perubahan sosial yang lebih baik, sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan yang universal. Dengan demikian, HMI dapat kembali menjadi motor penggerak perubahan yang konstruktif di tengah dinamika sosial-politik yang terus berkembang.
#Penulis Merupakan Manusia Biasa Bukan Apa-Apa dan Bukan Siapa-Siapa yang Masih dan Selalu Ingin Belajar
Komentar
Posting Komentar