Pelajaran Kepemimpinan dari Imam Masjid

 


Oleh : M. Rozien Abqoriy*


Sedikit bercerita, tadi saya ketika hendak mampir di salah satu masjid untuk menunaikan shalat maghrib. Disana akan segera melaksakan shalat berjamaah. Namun karena hari ini masih momen lebaran idul adha, di daerah kampung halaman saya masih biasa dengan mengkumandangkan takbir meski setelah shalat eid. 


Singkat cerita, di dalam masjid tadi ada sejumlah anak kecil yang mengkumandangkan takbiran sebelum shalat jamaah dimulai. Terlihat begitu antusias dari setiap lantunan takbirannya. Namun pasca jamaah maghrib usai, imam masjid menoleh kebelakang sembari mengatakan kepada sejumlah anak kecil yang tadi menunaikan takbiran, sebelum jamaah shalat dimulai. 


Kira kira seperti ini :

"Lain kali, kalau mau dzikir dengan takbiran, biasakan secara bergantian. Karena tadi kelihatannya saling berebutan," Ucap ustad dengan nada datarnya. 


Lalu kemudian ia lanjut menjelaskan, "Karena tidak dengan secara bergantian, atau terlalu berebutan. Hal itu kelihatan, bahwa dzikir takbiran tak terdengar dengan bagus. Hal itu bisa dikaitkan dengan manusia sosial ketika memiliki sifat yang selalu menginginkan untuk berada di depan (dalam artian pemimpin), maka akhirnya tidak akan ada yang namanya rakyat," terangnya penuh dingin. 


"Jika semuanya menginginkan menjadi pemimpin (berebut kuasa) sejak kecil, maka bisa dipastikan nanti sampai besar, akan menjadi keterbiasaan untuk menjadi tukang rebut, agar jadi yang terdepan. Maka hal sederhana itu memang bisa jadi boleh saja, namun dengan mengedepankan dari kalian yang memiliki suara paling merdu terlebih dahulu (pada saat takbiran, lalu dilakukan secara bergantian dengan tujuan agar terbiasa antri/sabar menunggu giliran)," ucapnya. 


Dalam hal itu saya memahami dan memaknai, jika sifat manusiawi dari setiap insan itu memang melekat. Namun juga masih bisa diupayakan untuk menjadi sedikit banyak berkurang sifat-sifat sedemikian, melalui pengetahuan tentang norma dan moralitas ataupun sub-sub prioritas dalam berkehidupan sosial/beragama/bernegara.


Diantaranya seperti saat ustadz/imam masjid tadi, itu memiliki 2 poin makna besar dalam kehidupan yang saya dapat fahami. 


Pertama, manusia bisa jadi boleh saja berebut untuk menjadi yang terdepan, tapi dengan syarat ia harus sudah mendekati kepada kategori yang cukup layak (ada penyeleksian dalam memilih pemimpin yang berkesesuaian dengan konteks tempat). Agar ada pembeda, antara pemimpin dan yang dipimpin. Kemudian mengurangi sifat ambisi yang berlebihan (potensi yang dirasa belum pasti layak dalam keadaan tertentu). 


Kedua, adanya persoalan perebutan, karena disebabkan budaya antri tidak dianggap baik ataupun karena tidak dibiasakan sejak dini. Sehingga saling rebut merebut, akhirnya sedikit demi sedikit menghilangkan kesadaran diri setiap manusia. Ketika kesadaran diri mulai menghilang, maka segalanya akan mudah mempraktekkan hal-hal yang diluar norma (agama/sosial/negara) terlestarikan begitu saja. 


Ketika dikaitkan lagi dengan kondisi sosial hari ini, ternyata relate sekali dengan persoalan yang terjadi saat di dalam masjid tadi. Dari seringnya terjadi perebutan yang tidak melewati proses kelayakan, sampai budaya antri dengan dasar moralitas, sedikit banyak juga telah terlupakan diganti dengan atas nama dia yang terdekat. 


Hikmah Hidup

Sumenep, 17 Juni 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saudara MABA, Ingat Ini !!

Saat Masih Berstatus Mahasiswa Baru