Di Pelintir Elit-Masyarakat Dibuat Lumrah-Lumrah Saja

 



Ada apa dengan masyarakat yang kini seakan dibuat biasa-biasa saja? 


Sebelum menyentuh ke ranah yang lumrah-lumrah saja tersebut, dahulu seringkali kita mendengar tentang pemaksaan, dalam rangka untuk merubah sebuah kondisi untuk keluar dari kebiasaan sebelumnya. Seperti halnya kebijakan dengan grand design politiknya, yang mengatur hukum ataupun undang-undang, agar hanya dapat mengikuti keinginan penguasa. Namun dibuat lupa bahwa adanya hukum dibuat untuk apa dan dengan latar belakang seperti apa sebelumnya. 


Akhirnya, hari ini kita seringkali dipertontonkan dengan upaya-upaya atas nama kebiasaan, untuk dapat melangkah ke ranah yang lumrah-lumrah saja. 


Lumrah-lumrah saja, dalam pengertian secara umum adalah usaha untuk menjadikan semua kejadian seakan sudah memang seringkali terjadi, sehingga menutup segala ingatan untuk dapat berfikir kembali, bahwa sebenernya lumrah-lumrah  tersebut memiliki kontradiktif dengan kesepakatan yang telah dibuat, dan dicantumkan dalam pedoman kehidupan masyarakat yang menganut sistem negara hukum. 


Kalau kata Anies Baswedan, seharusnya apabila suatu negara itu mendeklarasikan sebuah sistem sebagai negara hukum, artinya negara itu akan melahirkan segala bentuk kebijakan yang disesuaikan dengan aturan-aturan hukum. Apabila suatu negara hukum dalam setiap kebijakannya diatur oleh penguasa, maka sistem yang diharapkan itu, hanya akan menjadi impian semu semata. 


Mari, refleksi sejenak dengan memotret kejadian negara yang katanya negara hukum, namun prakteknya lebih banyak menampilkan tentang penguasa yang lebih memilih untuk mengatur segala aturan, terlebih mempoles segala undang-undang, memilih untuk mengendapkan kepada sang penguasa saja. 


Dari RUU Penyiaran, Tapera, Kenaikan UKT, Aturan Baru Batas Usia Cagub-Cawagub Usai Putusai Ma, Izinkan Ormas Keagamaan Kelola Tambang, Revisi UU TNI untuk bisa duduki jabatan menteri. Serentak, dipaksa untuk mengatakan lumrah-lumrah saja. 


Dalam pengertiannya ialah, bukan dari hukum untuk penguasa, oleh hukum untuk penguasa ataupun dari hukum untuk penguasa. Akan tetapi, beralih kepada penguasa untuk hukum, oleh penguasa untuk hukum, dan dari penguasa untuk hukum. 


Dampak dari hal tersebut, membuat keyakinan lebih bertambah, bahwa adanya otoritarianisme, ataupun nepotisme menjadi sebuah praktek yang dapat contohi bagi sebagian kelompok/kalangan masyarakat. 


"Sudah lumrah-lumrah saja," ungkapnya. 


Mengecualikan, bahwa republik ini pernah memperjuangkan era yang dinamakan Reformasi melalui supremasi hukum, pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), pencabutan Dwifungsi ABRI (TNI/Polri) dan seterusnya. Sehingga menjadi pondasi arah gerak bangsa, mau dibawa kemana dan untuk apa kedepan. 


Namun, apakah selamanya kebenaran selalu mau ditentukan oleh suara yang terbanyak? 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saudara MABA, Ingat Ini !!

Saat Masih Berstatus Mahasiswa Baru

Pelajaran Kepemimpinan dari Imam Masjid