Pudarnya Demokrasi Indonesia, Bermula di Perguruan Tinggi
Mengingat kembali dalam buku “Membaca Ulang Demokrasi Kita” yang ditulis oleh salah satu dosen hukum sekaligus pengacara ternama Jawa Timur Sulaisi Abdurrazaq dan saudaranya Hadiri Abdurraaq, terdapat tulisan yang menyatakan tentang realitas umum menunjukkan bahwa demokrasi mengedepankan kecerdasan merayu pemilih, bukan orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik, sehingga demokrasi menjadi “Ibu Kandung” Medioker, yakni mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi menonjol, namun pandai meraih simpati publik, lalu menjadi pejabat negara.
Ketika saya coba korelasikan dengan gambaran sederhana, yaitu yang berada dalam beberapa perguruan tinggi, masih terlihat bahwa, demokrasi hanya tinggal nama, hanya tinggal kedok belaka. Terlihat ketika suatu system hanya menyoroti satu kelompok saja, atau tidak memberikan ruang ekspresif yang sama, bagi kelompok yang mungkin saja memiliki lebih banyak potensi. Bukan hanya potensi suara, melainkan potensi perubahan.
Miris, ketika saya mengingat arti dari demokrasi yang menjadi pilihan negara kita Indonesia, dimana demokrasi itu sendiri yang secara umum kita kenal sebagai system pemerintahan di mana kekuasaan dipegang oleh rakyat dan dijalankan oleh mereka secara langsung, dan begitupun yang di ucapkan oleh Aristoteles bahwa, demokrasi ialah suatu kebebasan atau prinsip demokrasi ialah kebebasan, karena hanya melalui kebebasanlah setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan didalam negaranya. Kalau menggunakan bahasa saya sendiri adalah terciptanya ruang untuk lebih banyak suara.
Tapi, tentang mulai menghilangnya demokratisasi yang hakiki dalam ruang lingkup kenegaraan, yang benar maupun yang kurang mendekati kebenaran, tentunya mereka yang pernah masuk dalam perguruan tinggi dan berproses di dalamnya tentang tugas ilmiah sampai tugas keorganisasian.
Di ingatkan Kembali oleh Najwa Shihab tentang demokrasi yang tidak untuk melayani penguasa, demokrasi di ditujukan memulikan warga negara.
Mengingat bahwa pernyataan sejak dulu tentang perguruan tinggi dianggap sebagai miniatur negara, gambaran kecil dan sederhana untuk melihat suatu keadaan nasional yaitu bisa dari pemuda yang berada di dalam kampus yang sering kita sebut sebagai mahasiswa.
Pertanyaannya hari ini yang sering timbul dalam fikiran saya dalah benerkah kita/kamu/saya sudah benar-benar menjadi mahasiswa? Ketika merujuk kepada mahasiswa, tidak akan lepas dari tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian.
Sudah benarkah seseorang yang melakukan pendidikan ? Sudah benarkah seorang yang melakukan penelitian ? Jika memang ada, sudah seberapa persen memahaminya? Tentu ketika melihat realitas yang ada, semua terkesan mengurangi keorisinalannya, contohnya dalam pesta demokrasi. Demokrasi dalam kampus sudah mulai memudar ketika semua itu hanya terkesan merebut kekuasaan, menghilangkan akal sehatnya.
Kenapa saya bilang seperti itu karena terkesan terlalu tendensius dalam mengambil kebijakan dari sekelas internal seperti organisasi kemahasiswaan. Mungkinkan mereka lupa? Bahwa wajah demokrasi Indonesia kedepan adalah dimulai dari wajah demokrasi dari mereka yang saat ini menjadi mahasiswa.
Jika yang diambil setiap kebijakan tidak pernah memihak terhadap keadilan secara umum khususnya dalam pesta demokrasi yang dilaksanakan oleh mahasiswa, pengambilan kebijakannya masih secara sepihak saja, maka nilai – nilai secara sengaja mereka pudarkan dan menjadikannya sebagai aib Indonesia kedepan, hanya dari perilaku yang mungkin dianggap sederhana itu.
Dalam buku "Membaca Kembali demokrasi kita", juga menuliskan bahwa banyak pakar ilmu politik mengatakan bahwa demokrasi mengalami “cacat bawaan” yang memang sulit diobati. Demokrasi terjebak pada kuantitas ketimbang kualitas. Karenanya, penguasa demokrasi adalah mereka yang mengantongi suara tertinggi, bukan yang memiliki kapasitas memadai untuk penyelenggara negara.
Cita-cita memajukan bangsa yang kuat dan maju, hanya menjadi wacana ketika pemuda nya terasumsi dengan pilihannya yang merugikan dan berprilaku layaknya penjahat sekelas nasional, menjalin hubungan dengan birokrat kampus untuk kepentingan kesenangan, membuat konflik untuk sebuah kecurangan, dan tidak menutup kemungkinan Tindakan-tindakan korupsi sudah banyak di mulai dari perguruan tinggi.
Ketika sudah seperti itu? Apa gunanya tujuan yang sering dilantunkan oleh mahasiswa untuk kebermanfaatan bangsa dan negara kedepannya, jika menterlibatkan dirinya dalam ruang yang sama ?
Pesan dan harapan tidak banyak dari saya, bagi mereka yang masih mengaku sebagai mahasiswa yang berpegang teguh terhadap nilai demokrasi yang sesungguhnya, saya hanya merindukan yang katanya mahasiswa sejati, persatuan dan semangat yang membara dari mereka hanya untuk perdamaian, untuk kemaslahatan dari kemanusiaan.
Maka perlu kiranya untuk selalu memahami dan menyadari tentang setiap apa yang dilakukan serta esensinnya sebagai mahasiswa, intelektualiasnya, tridharmanya, dan kemanusiaannya.
M. Rozien Abqoriy
Pamekasan, 06 Januari 2023
Mantap keren
BalasHapus🙏 terima kasih
Hapus